Sebagaimana pendapat ulama Ahlu Sunah wal Jama’ah, Nabi Saw. tidak menyampaikan nash sharih tentang sistem kekhalifahan. Kekhalifahan adalah masalah ijtihadiyah atau ikhtiyariyah. Status khalifah yang diperoleh Abu Bakar ra. setelah Nabi Saw. wafat bukan berdasarkan penunjukan oleh beliau. Abu Bakar ditunjuk oleh para sahabat yang kemudian dibaiat sebagai khalifah (pengganti Rasulullah Saw.). Dinukil dari kitab Al fiqh al Islami, “Tidak disyaratkan menggunakan sistem khilafah. Yang terpenting adalah negara patuh dan tunduk kepada pemerintah dan orang-orang yang menjalankan urusan mereka, dan menolak bengkalai yang kian membludak.” Itulah mengapa, dalam konteks Indonesia, demokrasi masih dianggap mampu “mengkondisikan” negara.
Sebagian orang merasa enggan berpartisipasi dalam partai. Mereka mengganggap bahwa partai hanya memuat urusan politis dan janji-janji palsu. Demokrasi di Indonesia dinilai sebagai demokrasi modern yang tidak mengandung nilai-nilai syariat. Namun, setelah pemerintahan dikuasai orang-orang yang tidak mumpuni, mereka mengacung-acungkan jari dan menganggap pemerintah telah berbuat kedzaliman. Melihat kenyataan inilah, tugas kita yaitu menghadirkan pemimpin yang adil dan amanah, dan memperjuangkannya dengan sistem demokrasi.
Di antara tujuan partai-partai Islam adalah meraih suara dalam Pemilu, sehingga kelak menjadi penguasa yang mampu merapikan berbagai aturan agar sesuai dengan syariah Islam. Tujuannya yang lain yaitu menegakkan keadilan dan menyatukan umat serta menjadikan hal-hal duniawi (bersifat ke-dunia-an) sebagai sarana tepapainya tujuan ukhrawi (bersifat akhirat). Berbeda dengan partai modern, yang memiliki misi untuk merebut kekuasaan dan menampung kepentingan mereka semata.
Dalam kajian fiqih, berpatisipasi dalam partai dihukumi fardhu kifayah. Di dalamnya terdapat upaya mengangkat seorang pemimpin. Di Indonesia, partai adalah satu-satunya sarana untuk membentuk kepimpinanan. Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai golongan-golongan yang masuk dalam ranah siyasah (politik). Beliau menjawab, “Mereka yang mengajak pada kebaikan dan perkara haq, dan dengan kedudukannya menjadikan masyarakat lebih maslahah adalah termasuk tentara Allah. Sebaliknya, mereka yang hanya berbuat dzalim adalah tentara setan.”
Akan tetapi, ada juga ulama yang menolak ketikutsertaan dalam partai secara mutlak karena banyak hal-hal negatif yang akan timbul di dalamnya. Bagaimanapun, berjuang cukup dilakukan dengan berdakwah sesuai manhaj al nabawiyah. Referensi: Al Din wa al Daulah wa al Tathbiq al Syari’ah: 66. Al Fiqh al Islami [6]: 661-662. Fatawa Syekh Kisyik [1]: 141. Syarh al Jadid li Jauharah al Tauhid. Hukm al Imtima Ila al Firaq wa al Ahzab wa al Jamaat: 139 dan 144.
Comments
Post a Comment