![]() |
Santri dan Sambangan |
Bak ajal.
Sambangan bisa saja membuatmu menyesal.
Suara Panggilan
tak lagi terdengar menyenangkan
Matahari
makin meninggi. Merayap menuju puncak klimaks hari ini. Pagi ini dalam balutan
hawa yang lumayan sejuk. Bajuku basah
meresap peluh di punggung. Tidak hanya aku. Beberapa temanku yang sedang
beristirahat untuk melepas lelah pun merasakan demikian. Banjir keringat. Ternyataroan di taman
sekecil ini pun bisa menghasilkan keringat yang lumayan banyak.
Sembari
melepas lelah. Aku duduk-duduk bersama dua temanku yang masih memilih ngaso
di serambi depan asrama Daar at-Tauhid. Hanya mereka yang tersisa. Setelah
merasa puas beristirahat yang lain memilih pergi kelapangan untuk mengikuti
olahraga mingguan. Hari ini hari jum’at seluruh kegiatan libur. Jadi mereka bisa bebas memilih olahraga yang
mereka inginkan sampai jam sepuluh pagi.
Sambil
melepas lelah. Aku dan kedua temanku berbincang-bincang ringan. Sesekali
bercanda dan tertawa riang. Dika yang perawakan gempal paling sering melempar
guyonan. Doni yang perawakannya lumayan berisi lemak sesekali meledek Dika.
Sementara aku, hanya menjadi pendengar setia yang ikut tertawa, sesekali bicara
dan terkadang melerai ketika melihat mereka berdua panas karena saling adu
argumen siapa yang paling kurus.
Bersama
mereka berdua dunia serasa penuh kebahagiaan. Penat lelah dan pikiran berat
selalu terlupakan karena gurihnya candaan mereka. Setidaknya tertawa bersama
mereka membuatku merasa sedikit lebih muda. Karena jenuh akan kegiatan yang
serasa hanya begitu-begitu saja.
“Maulana
Dzikri min Gresik ribath darut tauhid fal yahdur ila diwanil amm lata dhoif”. Gemuruh terdengar
dari dalam lorong asrama. Beberapa orang yang sedang mengobrol di lorong
bahagia karena teman jagongan mereka ada yang di sambangi tamu. Ledekan dan pesan untuk tidak lupa membawa
jajan pun ramai di lontarkan. Sementara itu Maulana sebagai ‘tersangka’ pun
hanya bisa tersenyum dan ngeloyor pergi keruang tamu .
Man
Jaa bilaa Thoam Fahuwa Roddun menjadi jargon untuk memanas-manasi
setiap teman yang pulang atau sambangan tidak membawa jajan. Kadang agak menjengkelkan memang,. Akan tetapi mau
bagaimana lagi. Setidaknya jargon tersebut mengajarkan untuk shodaqoh walaupun berawal dari
keterpaksaan.
“Enak
ya. Yang rumahnya dekat bisa sambangan dul. Bahagia rasanya bisa di sambang” Dika
mengeluh. Dia selaku santri yang berasal dari Sumatra hanya bisa menghela
nafas. Aku hanya tersenyum, rumahku di Jakarta, sesama orang jauh aku bisa
merekan apa yang ia rasa. Jadi aku memaklumi akan apa yang ia di katakan.
“Sabar,
tenang kan ada aku. Sambanganmu tak wakili” Elusan tangan Doni naik turun di punggung Dika.
Ia yang notabenenya punya kesempatan lebih banyak di sambang menampakan sikap
ibanya kepada Dika yang ternyata bisa rindu kepada keluarga. Suasana di
sekeliling serasa berubah. Keluhan Dika serasa meninggalkan hawa negatif di
sekitar kami.
“Diwakili
tapi ra kene ra tau kebagian” aku melempar sedikit guyonan. Doni tersenyum,
dia sadar. Sambangannya selalu habis duluan di kamar. Kami jarang kebagian. Dika
ikut tersenyum. Suasana pembicaraan kami pun berubah kembali mejadi fun.
Energi positif mulai menyeruak dari diri Dika.
Siang
makin menjelang. Tak terasa. Obrolan kami memakan waktu yang lama. Kami pun
memilih untuk buyar. Doni dan Dika sarapan ke kantin. Sementara aku memilih untuk bergabung dengan
teman-teman yang lain bermain bola sepak di lapangan. Sesekali aku ingin
melonggarkan otot yang mulai kaku. Aji mumpung, lapangan mulai sepi dan aku
bisa lebih cepat ikut bermain tanpa harus antri giliran.
***
Hari-hari
berlalu dengan cepat. Setiap hari, sound panggilan dan pengumuman dari kantor
pusat tidak pernah sepi. Secara bergantian, selama seminggu santri yang di sambang
namanya terdengar dari sound tersebut. Hari jum’at dan hari minggu adalah hari
terpadat. Suara panggilan berbunyi berulang-ulang dua kali lipat dari biasanya.
Suara
panggilan di pesantrenku terbilang unik.
Mereka memanggil memakai bahasa arab. Awal hingga akhirannya hampir sama. Yang
membedakan hanya akhirannya. Padahal, pesantrenku bukan basis bahasa arab. Jadi
untuk anak baru yang belum mengerti, biasanya mereka
akan menanyakan artinya kepada senior yang sudah paham
dengan maksud panggilan tersebut.
Selain
itu yang paling sering di panggil ya santri yang rumahnya tidak jauh dari
provinsi Jawa Timur. Tuban, gresik
lamongan dan bojonegoro paling mendominasi. Merekalah nama kota yang paling
sering keluar. Jawa tengah tidak seberapa banyak. Jawa barat lebih jarang lagi.
Dan untuk luar pulau. Ah, itu tidak perlu di tanyakan lagi.
Nah, sebab inilah yang
membuat Santri luar Jawa lebih kuat menahan godaan boyong dini pada masa-masa
awal mondok dari pada orang yang rumahnya dekat. Faktor rumah yang jauh, serta
ongkos pulang yang menguras kantong orang tua, membuat mereka harus terus
bertahan dalam kerinduan yang menggelora. Hanya orang yang mempunyai kelebihan
rizki yang bisa sering berkunjung ke pesantrenku ini.
***
Waktu
istirahat tiba. Kelas agak lenggang. Teman sekelasku mengisi waktu
kosong dengan kegiatan masing-masing. Ada
yang kembali ke kamar, ada yang mengobrol, ada juga yang tidur. Semua berusaha
memanfaatkan waktu kosong sebisa dan sebaik mungkin. Diantara banyak pilihan
yang bisa aku lakukan ketika istirahat, aku berniat kembali ke kamar untuk
sekedar memberi makan ikan yang berada di depan jendela kamar.
Akan
tetapi hal itu aku tangguhkan setelah melihat Doni bengong. Sorot matanya kosong. Ia hadapkan wajahnya kearah bangunan
asrama putri yang jaraknya lumayan jauh dari kelas. Wajahnya terlipat.
Guratannya menandakan ada masalah yang sedang menimpanya. Pribadi ceria yang
dimilikinya terasa terenggut dari seketika. Sebagai teman aku mencoba untuk
peduli. Aku coba hampiri dia untuk sekedar
menghibur dan menanyakan perihal atas apa yang ia alami.
“Hei jelek, kenapa nih. Kok kayak ada masalah” Aku tepuk
bahunya, kemudian buka topik pembicaraan. To the point, langsung ke inti tentang apa yang Doni
alami.
Bukannya menjawab, Doni malah ngegeremeng nggak jelas.
Mulutnya terkunci rapat. Wajahnya tetep berpaling dariku. Tidak menoleh barang
kali sedikit. Bahasa tubuhnya cukup jadi isyarat kalo dia tidak mau di ganggu.
Akan tetapi bukan Abdulloh kalo kehabisan akal.
Seperti biasa, tangan jahilku mulai bergerak dan menjamah
bagian terlemah dari tubuh Doni. Aku kelitiki dia. Pinggangnya aku tusuk-tusuk
dengan jari telunjuk. Dan ternyata berhasil seperti biasanya. Tubuhnya
menggeliat, menahan geli. Sesekali tangannya berusaha untuk menyingkirkan dan
menahan jariku yang bergerak tiada henti.
“Diem napa” Doni angkat bicara. Raut wajahnya berubah
kesal. Taktikku berhasil.
“Makannya cerita dong” Aku malah
berbalik mengomeli dia dengan raut wajah kesal.
“Iya, iya. Aku cerita. Tapi please. Diem. Udahan ah.” Doni
menyerah. Ia memilih untuk genjatan senjata. Pilihan terbaik untuk menghentikan
tangan jahilku.
“Jadi begini” Doni memulai cerita dengan helaan nafas
berat. Wajahnya menatap kedepan. Kosong. Dan dengan raut muka penuh akan
kesedihan.
***
“Hari jum’at kemarin masku datang. Seperti biasa, ada
tempias rasa bahagia ketika mendengar namaku keluar dari sound panggilan.
Dengan percaya diri aku keruang tamu untuk menemuinya. Setiap disambang selalu
begitu. Aku merasa menjadi santri yang merdeka. Kabar bahagia selalu menyertai
ketika keluarga datang padaku.”
“Akan tetapi semua rasa bahagia itu hancur lebur ketika
aku menghamipirinya yang duduk bersandar tembok dengan wajah cemas. Setelah mengucap
salam lalu mencium tangannya aku mendengarkan
sebuah kabar dari rumah yang dia bawa kepadaku. Saat mendengar kabar itu aku
hanya bisa terperangah. Menyesal, kenapa ia harus datang membawa kabar duka
yang menyayat hati dan menghancurkan mimpiku”
“Bapak ente meninggal ?” Aku menyela.
Mencoba untuk langsung menyimpulkan kabar yang dibawa oleh masnya Doni.
“Lah kamu gimana si. Masa lupa, kan bapakku udah meninggal dari kapan tahu” Doni kesal.
Dia garuk-garuk kepala. Tidak habis pikir kalo teman dekatnya lupa kalo
bapaknya sudah meninggal. Aku terkekeh. Menepok jidat, lalu minta maaf dan
meminta Doni melanjutkan ceritanya.
“Ibuku meminta aku pulang dan mencari kerja. Katanya
keluargaku sudah tidak kuasa untuk membiayaiku belajar disini. Adik-adiku butuh
sekolah formal. Mondoknya aku disini, katanya memperberat keuangan keluarga.
Karena tak adanya beasiswa atau tunjangan pemerintah yang aku pegang membuat
aku harus mengalah.”
“Tapikan masih ada mas ente. Masa dia nggak bisa bantuin
?” Aku menyela lagi
“Dia masih kuliah. Semester akhir. Itu juga dia kuliah
dengan biaya bukan dari orang tua. Tapi dari beasiswa. Jadi keluarga tidak
terlalu terbebani. Dia ingin fokus jadi nggak bisa nyambi untuk kerja”.
“Jadi, akhirnya setelah itu, aku sowan. Memohon izin mempersiapkan diri untuk pulang
ke kyai. Beliau memaklumi dan mendoakan yang terbaik untukku. Masku setelah itu
langsung kembali ke malang untuk kuliah. Ia datang bawa kabar buruk dan pergi
tanpa memberikan kepastian kapan aku harus pulang. Dia cuma bilang kalo aku
harus pulang dalam waktu dekat ini.
“Maka dari itu setidaknya selalagi masih ada waktu. Aku ingin meraskan masa-masa akhir di pesantren
dengan tetap mengikuti kegiatan yang ada. Aku ingin datang dengan baik. Pulang
dengan baik pula. Tolong diem-diem aja ya.”
Selesai sudah penjelasan Doni. Tersingkap semua tabir
penyebab kesedihan yang di alaminya. Aku turut bersedih. Selaku teman dekat,
aku tidak dapat melakukan apa-apa. Ini masalah yang terlalu intim. Ini masalah
keluarga orang lain. Selaku orang biasa aku hanya bisa berharap. Semoga ia
mendapatkan yang terbaik serta tidak kesulitan untuk mendapatkan kerja.
Setelah cerita Doni
beranjak dari tempat duduknya. Moodnya untuk mengobrol lebih lanjut hilang.
Mungkin dia lebih memilih untuk kembali kekamar. Menenangkan fikiran dengan
tidur sampai bel
pertanda masuk berbunyi dari kantor
Sementara itu aku terpaku dia atas
kursi melihat Doni yang pergi keluar kelas. ‘Huf’. Aku menghela nafas. Setidaknya
dari apa yang di alami Doni aku
mendapatkan sebuah pelajaran berharga. Bahwa aku tidak akan tahu kapan aku akan
pergi dari pesantren ini. Seperti ajal. Boyong datang tanpa kenal waktu dan
kondisi. Segala macam faktor bisa kapan saja membuat ‘boyong’ datang dan
memotong umur kehidupanku di pesantren.
***
Tak
terasa satu bulan berlalu, Doni berpamit kepadaku dan seluruh teman-temannya di
pesantren. Masnya kembali mendatanginya untuk memboyongnya kerumah. Waktu sound
panggilan memanggil namanya. Tak ada guratan gembira. Tak ada teriakan bahagia.
Yang ada hanya kesedihan.
Doni
pasrah. Tangis haru mewarnai perpisahanku dengannya. Dika menagis. Doni matanya
sembab. Sementara aku tak kuasa tuk menagis. Bukan tak kasihan. Tapi otakku
berfikir keras. Batinku goyah. Dan pikiranku melayang ke arah bayang-bayang
akan segala kemungkinan yang bisa saja menimpaku.
Doni
bukanlah satu-satunnya orang yang mengalami nasib pahit seperti ini. Bak seorang
yang baru saja merasakan mekarnya bunga cinta. Lagi cinta-cintanya. Dalam
posisi wenak. Ia harus menelan pil pahit boyong belum waktunya.
“Don.
Jangan pulang. Kalo kamu pulang aku minta kiriman kesiapa don.” Dalam pelukan Doni
Dika menangis, leyeh-leyeh. Ia seperti anak yang akan di tinggal
induknya. Merengek, memohon agar Doni tak pergi meninggalkannya.
“Ojo
ngono to. Wes gerang. Kan masih banyak teman yang lain. Doain aja Dik.
Supaya nanti aku dapat rezeki lebih untuk nyambangi kamu sama Abdullah.” Sambil
mengelus-ngelus punggung Dika. Doni
mencoba tabah dan menguatkan hatinya dan hati Dika.
Setelah
sekira cukup untuk berpamitan. Doni pergi kearah masnya yang sudah menunggu dari tadi. Aku dan Dika melepas kepergian Doni
dengan berat hati. Kata terakhir yang ia ucapkan adalah salam perpisahan. Lalu kami jawab dengan jawaban perpisahan.
“Jangan
lupa main kesini. Kami selalu menanti sambangan darimu” Aku yang sedari tadi
membisu meneriaki Doni. Reflek. Terlintas sekilas, dan terlepas begitu saja. Doni
tidak menengok kearahku. Ia hanya mengangkat tangan kanannya dan memberikan
jempol kemudian kelingking. Isyarat dari “Oke” dan “Janji”. Doni hilang dari pandanganku setelah ia
berbelok melewati pos induk keamanan. Ia pergi. Akhirnya pergi. Dan meninggalkan
lubang kesedihan di hati kami.
***
“Ojo
lali jajane !!” Matin, tetangga kamarku meneriaki mahmud yang berlari-lari
kecil menuju ruang tamu. Matin berteriak tanpa menggubris sekitar. Aku terganggu, tapi mau gimana lagi. Kalau
teman kiriman yang bahagia bisa seasrama.
“Arobiyah
Khi !!”
ceplosku yang sedang membersihkan
jendela dengan kemoceng.
“Nasitu
khi”
balasnya melengos refleks sambil tersenyum lalu ngeloyor kedalam kamar.
“Huf”.
Andaikan ada anggota lajnah arobiyah bias habis dia. Bias saja besok ia
terkena Ta’dzir dan menjadi Mujawwiz. Memang sulit menghidupkan
bahasa arab di tengah-tengah santri yang dominan berbahasa indonesia atau
berbahasa daerah masing-masing.
“Abdullah
min Jakarta ribath Darut Tauhid fal yahdur ila diwanil amm lata dhoif”. Diulang dua kali dan terdengar jelas, karena
aku sedang di depan kamar. Teman-temanku yang sedang olahraga berteriak girang
dan meminta kepadaku untuk tidak lupa membawa jajan, semua bergembira. Akan tetapi
tidak dengan aku.
Suara
kali ini terasa minor, membuatku panas dingin. Meninggalkan rasa takut dan
cemas. Boyongnya Doni membuat pandanganku tentang suara panggilan tak mesti
mendatangkan kebahagian. Sederet sejarah kesedihan setelah panggilan membuatku
harap-harap cemas.
Bukan
hanya itu. Keluarnya suara panggilan pada jam segini pun tidak seperti
biasanya. Diluar kebiasaan. Tak pernah ada keluargaku datang menyambang jam
segini. Disela kebahagiaan temanku aku menyimpan was-was dan rasa suudzon
yang besar akan suara panggilan ini.
Dalam
hati aku terus berdoa. Mengucapkan sepatah dua kata harapan. Memohon kepada Allah.
Semoga yang terjadi pada Doni tak lantas terjadi pula padaku. Sepanjang jalan
menuju kamar aku terus bergumam.
“Wahai
tamu, entah siapapun engkau, datangi aku dengan kabar bahagia”
THE END
Pict : @Sahabat_Mughtafar
Comments
Post a Comment