Langkahnya berat meninggalkan anak satu-satunya di kampung
orang. Bagaimana tidak. Diusia yang masih sangatlah muda. Anaknya harus
menampuk beban harapan yang sangat besar. Orang tua mana yang tidak berat
berpisah dengan anaknya. Guratan-guratan khawatir terus terlukis dalam
hatinya. Wajah murung hampir terpancar.akan tetapi harapan warga desa
menghalangi ekspresi itu muncul. Digantinya dengan senyum paksa dan lambaian
tangan tanda berpisah. Sang anak berdiri tegap di gerbang.
Sang Ayah berbalik menaiki tangga dengan langkah kaki yang terasa
seperti mengangkat beban berton-ton. Ingin sedikit menengok, hati
menghalangi. Air mata tertahan oleh kehormatan seorang lelaki. Sedikit
lagi ia akan berpisah dalam waktu yang sangat lama.
Sementara itu, Zakaria anaknya berdiri termenung melihat kepergian
Ayahnya. Terbesit dalam hati kecilnya. Ingin mengejar sang Ayah dan memberikan
pelukan terakhir dalam waktu yang lama. Hati mendukungnya. Ia berlari sambil
meneriakan
“Ayah,,,, Ayah…”
Sang Ayah bangun dari bayangan segala dilemanya. Ia balikkan badan
kearah suara yang taka sing di telinganya. Melihat anaknya berlari
menghampirinya. Ia turuni tangga tergesa-gesa. Dilihatnya Zakaria mengeluarkan air
mata. Lalu memeluknya dengan erat.
“Ayah biarkan aku peluk Ayah untuk kesekian kalinya, sebelum kita
berpisah”
Mendengar kata-kata itu. Tangisnya tak dapat lagi
terbendung. Pelukannya ia eratkan, tangisnya hampir menjadi-jadi,
punggungnya berguncang. Pelukan kasih sayang dua insan pemilik darah yang sama
menaburkan sebuah klipe yang begitu indah. Sang Ayah meredakan tangisnya. Ia
tatap wajah anaknya yang masih mengelap air mata sambil sesegukan. Sang
Ayah tersenyum lalu mencium kening Zakaria. Lalu berbisik
“Udah jangan nangis lagi ya. Semangat wujudkan harapan Ibu, Ayah
dan warga kampong kita. ”sekali lagi sang Ayah mencium kening Zakaria. Lalu
menjauh, dengan berjalan mundur sambil berbalik badan dan menaiki tangga dengan
sedikit terburu-buru. Bis yang sudah menunggu membuatnya begitu. Dengan senyum
ketenangan ia lambaikan tangan lagi kepadaZakaria yang ada di bawah. Menaiki bis
lalu pergi dengan hati yang tenang karena pelukan itu. Begitu pula dengan Zakaria.
Ia balikkan badan. Lalu berjalan dengan tegar menuju gerbang pesantren yang
begitu kokoh. Karena dari sini ia akan mulai sebuah kisah nyata dalam
kehidupannya. Menuju harapan mulia. Hidup bahagia dunia akhirat bersama
keluarga dan umat islam diseluruh dunia.
@@@
Hari-hari berlalu.Zakaria merasakan suasana baru serta
identitas baru. Tidak lagi dia bersama Ayahnya dan besikap memanjakan diri. Dia
harus mulai terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri, serta lebih menjaga
sikap karena statusnya yang menjadi seorang santri. Kebiasaannya dulu ketika
sekolah dasar menjadikan dia lebih mudah untuk bersosialisasi dengan orang
lain. Sehingga dia cepat mendapat teman di asramanya.
Zakaria bermukim disalah satu asrama yang paling besar. Bangunannya
tingkat tiga. Dan dia berada di kamar 16 yang terletak di lantai 3, rutinitas
yang padat membuatnya harus siap naik-turun tangga setiap harinya lebih dari
sepuluh kali.
Di pesantrennya dia tidak diperbolehkan memikirkan biaya oleh sang
Ayah. Dia hanya di perbolehkan fokus untuk menuntut ilmu hingga jenjang akhir
di pesantrennya. Cita-cita yang luhur sang ibunda yang telah wafat membuatnya
harus begitu. Dan juga di karenakan semua biaya operasional Zakaria di pesantren
sudah di tanggung kepala sekolahnya dulu, Ayahnya pun tidak perlu terlalu memikirkan uang yang disiapkan untuk Zakaria.
Tapi adakalanya Zakaria mengalami kegalauan, ketika ia mengingat
Ayahnya serta semua kenangan indah bersama beliau. Ia rindu akan kisah serta
nasihat bijak sebelum tidur yang rutin di bawakan oleh Ayahnya hingga Zakaria terlelap dalam tidurnya. Sebuah hal yang wajar untuk seorang santri mengalami
kegalauan ini. Bagaimanapun juga ia hanyalah anak kecil lulusan sekolah dasar.
Rasa rindu pastilah tertanam di relung kalbunya.
@@@
Dia duduk termenung memegang pulpen di tangannya. Di depannya ada
sebuah buku yang pernuh goresan tinta di atas meja. Matanya basah oleh air mata
kerinduan. Sudah beberapa tahun tidak bersua dengan anaknya yang berjanji tidak
pulang sampai dia bisa menjadi yang di harapnya oleh dirinya. Sampai ia pantas
memegang amanah menjadi penegak agama di desanya.
Lama ia termenung, hingga terbesit di pikirannya sebuah kata untuk
melanjutkan kisah hidup bersama anak satu-satunya itu. Ia seka air matanya
dengan lengan baju. Ia mulai lagi rentetan tulisan penuh dengan intrik dan
dramatis. Bahagia dan duka. Pertemuan dan perpisahan. Di umurnya yang separuh
baya ia jalani hidup dengan kesendirian selama beberapa tahun. Sembari menunggu
kepulangan anaknya yang berada jauh dari kampung halamannya.
@@@
Malam ini seperti biasa Zakaria sibuk dengan pena serta kertasnya.
Dunia terasa berubah tatkala dua benda itu sudah berada di tangannya.
Ditulisnya semua cerita perjalanan hidupnya di pesantren. Sejak awal mondok dia
sudah terbiasa menulis tentang kesehariannya. Sudah ada 5 buku lebih yang
semuanya memuat kisah perjalanan hidupannya di pesantren, pesan Ayahanda ketika
masih dirumah membuat dia selalu bersemangat akan hal ini.
Tak terasa sudah hampir satu windu dia tidak melongok kerumah.
Keseriusan, tekad serta semangatnya dalam menuntut ilmu menjadikan dia terus
berusaha fokus dalam pendidikan. Menulis diary hanyalah selingan wajib baginya.
Rindu jelas rindu. Terhitung ini adalah tahun terakhirnya di pesantrennya kini.
Sedikit lagi dia akan merampungkan serta menutup buku perjalan hidupnya di
pesantren dan juga membuka buku baru dalam babak baru kehidupan dirumahnya nanti.
Dalam pikirannya kini tergambar jelas wajah Ayah, sanak saudara,
tetangga serta semua tantangan kehidupan baru yang akan ia hadapi.
@@@
Pagi telah menjelang dengan percaya diri ia langkahkan kakinya.
Teringat olehnya kenangan masa lalu yang begitu indah. Langkah yang diwarnai
tangis ketika pertama kakinya melewati batas gerbang pesantren ini
setelah di tinggal ayahnya. Kini di pundak ia gendong sebuah tas. disisi kanan
dan kirinya ia ada kardus yang ia angkat sendiri. Jejaknya tertinggal di pesantrennya
itu. 1 windu menyelam dalam lautan ilmu, ke permukaan sebentar lantas setelah
itu menyelam lagi.
Semua sudah selesai, izin telah ia dapatkan. Yang terpenting ridho
dari kyai, guru serta teman-teman sejawat yang senior maupun junior. Semua
kenangan indah itu terekam jelas dalam ingatan dan semua tulisannya selama di
pondok. Tinggal beberapa jam lagi ia akan bisa melepas rindu yang sudsah
bersemayam dalam kalbunya sejak lama. Benaknya berkata, Ayah tunggu aku
dirumah.
@@@
Tidak terlalu banyak berubah, itu lah tanggapan Zakaria tatkala
sampai di desanya. Hanya Tugu selamat datang serta beberapa lahan kosong yang
berbeda karena beberapa rumah warga yang masih baru. Ia kaget oleh ekspresi
warga melihat kedatangan Zakaria. Satu windu dia tidak pulang semua terncengan melihat
perubahannya sekarang. Dia yang dulu hanya anak kecil polos dan penurut
sekarang bertransformasi menjadi sosok yang luar biasa. Gagah, tampan,
berwibawa karena pancaran keluasan ilmunya.
“Assalamualaikum” beberapa orang yang merasa kenal dengan Zakaria menyapa dan menyambutnya dengan salam. Zakaria sangat di mulyakan dan di tuntun
menuju rumah kepala desa. Kedatakangan dia yan begitu mendadak membuat warga
tidak sempat membuat penyambutan yang meriah.
“Waalaikum salam Wr. Wb” Zakaria menjawab kepala desa yang sudah di
depannya.
“Sehat Zak, oh ya baru datengkan santai-santai dulu disini ya, ”
perintah pak kades dengan ramah.
Tak usah pak, saya ingin segera berjumpa dengan Ayah,
bisakah ada beberapa orang yang membantu saya membawa kardus-kardus saya”
Mendengar permintaan Zakaria Pak Kades dan beberapa orang di
sekililingnya seperti kebingungan, mereka saling berbisik dan menambakkan wajah
tidak mengenakkan.
“Bentar ya de Zakaria kami masuk masuk dulu ada yang mau kami
bicarakan”
Dengan wajah cemas mereka beranjak kedalam rumah untuk berdiskusi. Zakaria merasa tidak nyaman. Ada gelagat mencurigakan dan terkesan ada yang di
sembunyikan. Dirinya pun mulai hawatir. Segala kemungkinan bias saja terjadi.
Apakah ini menyangkut Ayahnya atau mungkin rumahnya. Tak sedikit pun ada rasa
akan di berikan kejutan oleh dirinya. Segala prasangka tidak mengenakan
berputar-putar di kepaalanya.
Setelah beberapa menit berdiskusi akhirnya mereka keluar dari
dalam akan tetapi mereka masih dengan wajah yang tidak mengenakan, pak
kades pun tersenyumnya dengan senyum yang terlihat sekali dipaksakan.
Kemudian Pak Kades duduk di depan Zakaria. Beberapa orang yang tadi kedalam bersama pak Kades tidak ikut duduk. Mereka lebih memilih berdiri di belakangnya.
Setelah itu berliau pun memualai pembicaraan.
“Begini nak Zakaria, sebenarnya……..”
Bunga
Seroja dari ibunda di publikasikan di Majalah Harokah.
Berlanjut
ke episode selanjutnya. Insya Allah
Comments
Post a Comment