Skip to main content

Langkah Satu Windu

Langkahnya berat meninggalkan anak satu-satunya di kampung orang.  Bagaimana tidak. Diusia yang masih sangatlah muda. Anaknya harus menampuk beban harapan yang sangat besar. Orang tua mana yang tidak berat berpisah dengan anaknya.  Guratan-guratan khawatir terus terlukis dalam hatinya. Wajah murung hampir terpancar.akan tetapi harapan warga desa menghalangi ekspresi itu muncul. Digantinya dengan senyum paksa dan lambaian tangan tanda berpisah. Sang anak berdiri tegap di gerbang.
Sang Ayah berbalik menaiki tangga dengan langkah kaki yang terasa seperti mengangkat beban berton-ton.  Ingin sedikit menengok, hati menghalangi. Air mata tertahan oleh kehormatan seorang lelaki.  Sedikit lagi ia akan berpisah dalam waktu yang sangat lama.
Sementara itu, Zakaria anaknya berdiri termenung melihat kepergian Ayahnya. Terbesit dalam hati kecilnya. Ingin mengejar sang Ayah dan memberikan pelukan terakhir dalam waktu yang lama. Hati mendukungnya. Ia berlari sambil meneriakan
“Ayah,,,, Ayah…”
Sang Ayah bangun dari bayangan segala dilemanya. Ia balikkan badan kearah suara yang taka sing di telinganya. Melihat anaknya berlari menghampirinya. Ia turuni tangga tergesa-gesa. Dilihatnya Zakaria mengeluarkan air mata. Lalu memeluknya dengan erat.
“Ayah biarkan aku peluk Ayah untuk kesekian kalinya, sebelum kita berpisah”
Mendengar kata-kata itu. Tangisnya tak dapat lagi terbendung.  Pelukannya ia eratkan, tangisnya hampir menjadi-jadi, punggungnya berguncang. Pelukan kasih sayang dua insan pemilik darah yang sama menaburkan sebuah klipe yang begitu indah. Sang Ayah meredakan tangisnya. Ia tatap wajah anaknya yang masih mengelap air mata sambil sesegukan.  Sang Ayah tersenyum lalu mencium kening Zakaria. Lalu berbisik
“Udah jangan nangis lagi ya. Semangat wujudkan harapan Ibu, Ayah dan warga kampong kita. ”sekali lagi sang Ayah mencium kening Zakaria. Lalu menjauh, dengan berjalan mundur sambil berbalik badan dan menaiki tangga dengan sedikit terburu-buru. Bis yang sudah menunggu membuatnya begitu. Dengan senyum ketenangan ia lambaikan tangan lagi kepadaZakaria yang ada di bawah. Menaiki bis lalu pergi dengan hati yang tenang karena pelukan itu. Begitu pula dengan Zakaria. Ia balikkan badan. Lalu berjalan dengan tegar menuju gerbang pesantren yang begitu kokoh.  Karena dari sini ia akan mulai sebuah kisah nyata dalam kehidupannya. Menuju harapan mulia. Hidup bahagia dunia akhirat bersama keluarga dan umat islam diseluruh dunia.
@@@
 Hari-hari berlalu.Zakaria merasakan suasana baru serta identitas baru. Tidak lagi dia bersama Ayahnya dan besikap memanjakan diri. Dia harus mulai terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri, serta lebih menjaga sikap karena statusnya yang menjadi seorang santri. Kebiasaannya dulu ketika sekolah dasar menjadikan dia lebih mudah untuk bersosialisasi dengan orang lain. Sehingga dia cepat mendapat teman di asramanya.
Zakaria bermukim disalah satu asrama yang paling besar. Bangunannya tingkat tiga. Dan dia berada di kamar 16 yang terletak di lantai 3, rutinitas yang padat membuatnya harus siap naik-turun tangga setiap harinya lebih dari sepuluh kali.
Di pesantrennya dia tidak diperbolehkan memikirkan biaya oleh sang Ayah. Dia hanya di perbolehkan fokus untuk menuntut ilmu hingga jenjang akhir di pesantrennya. Cita-cita yang luhur sang ibunda yang telah wafat membuatnya harus begitu. Dan juga di karenakan semua biaya operasional Zakaria di pesantren sudah di tanggung kepala sekolahnya dulu, Ayahnya pun tidak perlu terlalu memikirkan uang yang disiapkan untuk Zakaria.
Tapi adakalanya Zakaria mengalami kegalauan, ketika ia mengingat Ayahnya serta semua kenangan indah bersama beliau. Ia rindu akan kisah serta nasihat bijak sebelum tidur yang rutin di bawakan oleh Ayahnya hingga Zakaria terlelap dalam tidurnya. Sebuah hal yang wajar untuk seorang santri mengalami kegalauan ini. Bagaimanapun juga ia hanyalah anak kecil lulusan sekolah dasar. Rasa rindu pastilah tertanam di relung kalbunya.
@@@
Dia duduk termenung memegang pulpen di tangannya. Di depannya ada sebuah buku yang pernuh goresan tinta di atas meja. Matanya basah oleh air mata kerinduan. Sudah beberapa tahun tidak bersua dengan anaknya yang berjanji tidak pulang sampai dia bisa menjadi yang di harapnya oleh dirinya. Sampai ia pantas memegang amanah menjadi penegak agama di desanya.
Lama ia termenung, hingga terbesit di pikirannya sebuah kata untuk melanjutkan kisah hidup bersama anak satu-satunya itu. Ia seka air matanya dengan lengan baju. Ia mulai lagi rentetan tulisan penuh dengan intrik dan dramatis. Bahagia dan duka. Pertemuan dan perpisahan. Di umurnya yang separuh baya ia jalani hidup dengan kesendirian selama beberapa tahun. Sembari menunggu kepulangan anaknya yang berada jauh dari kampung halamannya.
@@@
Malam ini seperti biasa Zakaria sibuk dengan pena serta kertasnya. Dunia terasa berubah tatkala dua benda itu sudah berada di tangannya. Ditulisnya semua cerita perjalanan hidupnya di pesantren. Sejak awal mondok dia sudah terbiasa menulis tentang kesehariannya. Sudah ada 5 buku lebih yang semuanya memuat kisah perjalanan hidupannya di pesantren, pesan Ayahanda ketika masih dirumah membuat dia selalu bersemangat akan hal ini.
Tak terasa sudah hampir satu windu dia tidak melongok kerumah. Keseriusan, tekad serta semangatnya dalam menuntut ilmu menjadikan dia terus berusaha fokus dalam pendidikan. Menulis diary hanyalah selingan wajib baginya. Rindu jelas rindu. Terhitung ini adalah tahun terakhirnya di pesantrennya kini. Sedikit lagi dia akan merampungkan serta menutup buku perjalan hidupnya di pesantren dan juga membuka buku baru dalam babak baru kehidupan dirumahnya nanti. Dalam pikirannya kini  tergambar jelas wajah Ayah, sanak  saudara, tetangga serta semua tantangan kehidupan baru yang akan ia hadapi.
@@@
Pagi telah menjelang dengan percaya diri ia langkahkan kakinya. Teringat olehnya kenangan masa lalu yang begitu indah. Langkah yang diwarnai  tangis ketika pertama kakinya melewati batas gerbang pesantren ini setelah di tinggal ayahnya. Kini di pundak ia gendong sebuah tas. disisi kanan dan kirinya ia ada kardus yang ia angkat sendiri. Jejaknya tertinggal di pesantrennya itu. 1 windu menyelam dalam lautan ilmu, ke permukaan sebentar lantas setelah itu menyelam lagi.
Semua sudah selesai, izin telah ia dapatkan. Yang terpenting ridho dari kyai, guru serta teman-teman sejawat yang senior maupun junior. Semua kenangan indah itu terekam jelas dalam ingatan dan semua tulisannya selama di pondok. Tinggal beberapa jam lagi ia akan bisa melepas rindu yang sudsah bersemayam dalam kalbunya sejak lama. Benaknya berkata, Ayah tunggu aku dirumah.
@@@
Tidak terlalu banyak berubah, itu lah tanggapan Zakaria tatkala sampai di desanya. Hanya Tugu selamat datang serta beberapa lahan kosong yang berbeda karena beberapa rumah warga yang masih baru. Ia kaget oleh ekspresi warga melihat kedatangan Zakaria. Satu windu dia tidak pulang semua terncengan melihat perubahannya sekarang. Dia yang dulu hanya anak kecil polos dan penurut sekarang bertransformasi  menjadi sosok yang luar biasa. Gagah, tampan, berwibawa karena pancaran keluasan ilmunya.
“Assalamualaikum” beberapa orang yang merasa kenal dengan Zakaria menyapa dan menyambutnya dengan salam. Zakaria sangat di mulyakan dan di tuntun menuju rumah kepala desa. Kedatakangan dia yan begitu mendadak membuat warga tidak sempat membuat penyambutan yang meriah.
“Waalaikum salam Wr. Wb” Zakaria menjawab kepala desa yang sudah di depannya.
“Sehat Zak, oh ya baru datengkan santai-santai dulu disini ya, ” perintah pak kades dengan ramah.
Tak usah  pak, saya ingin segera berjumpa dengan Ayah, bisakah ada beberapa orang yang membantu saya membawa kardus-kardus saya”
 Mendengar permintaan Zakaria Pak Kades dan beberapa orang di sekililingnya seperti kebingungan, mereka saling berbisik dan menambakkan wajah tidak mengenakkan.
“Bentar ya de Zakaria kami masuk masuk dulu ada yang mau kami bicarakan”
Dengan wajah cemas mereka beranjak kedalam rumah untuk berdiskusi. Zakaria merasa tidak nyaman. Ada gelagat mencurigakan dan terkesan ada yang di sembunyikan. Dirinya pun mulai hawatir. Segala kemungkinan bias saja terjadi. Apakah ini menyangkut Ayahnya atau mungkin rumahnya. Tak sedikit pun ada rasa akan di berikan kejutan oleh dirinya. Segala prasangka tidak mengenakan berputar-putar di kepaalanya.
Setelah beberapa menit berdiskusi akhirnya mereka keluar dari dalam akan tetapi mereka  masih dengan wajah yang tidak mengenakan, pak kades pun tersenyumnya dengan senyum yang terlihat sekali  dipaksakan. Kemudian  Pak Kades duduk  di depan Zakaria. Beberapa orang yang tadi kedalam bersama pak Kades tidak ikut duduk. Mereka lebih memilih berdiri di belakangnya.  Setelah itu berliau pun memualai pembicaraan.
“Begini nak Zakaria, sebenarnya……..”

Bunga Seroja dari ibunda di publikasikan di Majalah Harokah.
Berlanjut ke episode selanjutnya. Insya Allah


Comments

Popular posts from this blog

Profil Pesantren Nurul Furqon (Pesantren Tilawah Pertama Di Bogor)

Suasana Mengaji Pondok Pesantren Nurul Furqon. PONDOK Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional tertua di Indonesia. Pengajaran di pesantren menggunakan sistem sorogan dan bandungan yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya. Dalam perkembangan selanjutnya, selaras dengan kemajuan zaman, metode dan sistem pengajaran di pesantren diperkaya dengan sistem kelas dengan tidak meninggalkan inti pengajaran pesantren. Dengan sistem ini, yang memberikan pengajaran tidak lagi harus seorang kiai, juga ada guru/ustadz/ustadzah sesuai dengan materi pelajaran. Pembelajaran bersifat massal, menggunakan kurikulum yang jelas, lama belajar ditentukan sesuai dengan jenjang-jenjang pendidikan dan kelasnya. Mata pelajaran bukan cuma bidang-bidang ilmu agama, tapi juga ilmu umum. Sekalipun demikian, sistem sorogan dan bandungan serta figur seorang kiai/ustadz yang menjadi panutan dan kharismatik, tak bisa dipisahkan dari ciri khas pesantren sebagai lembaga transformasi nila...

Spesifikasi ASUS ZenBook UX410UQ (Give Away)

Langitan di Pagi Hari Saya M. Zahid Farhan seorang santri di salah satu pesantren di Tuban Jawatimur. Lebih tepatnya Pondok Pesantren langitan. Saya adalah salah satu dari sekian ribu santri yang sampai sekarang masih aktif belajar di Langitan. Dan juga salah satu santri yang memasuki dunia film maker, menulis, designer dan fotografer. Yang intinya saya berkutat dalam dunia multi media. Lebih jelasnya dalam segi film maker saya fokus di dua tempat, yakni Langitan TV dan LangitanDokumentasi . Sedangkan menulis berfokus di majalah serta blog pribadi. Dan yang terakhir fotografer focus pada pendokumentasian setiap acara di pondok pesantren. Langitan TV Sebagai santri multi media, saya di tuntut oleh jam “kerja” yang lumayan tinggi. Tuntutan deadline sana sini dan lain sebagainya. Dikarenkan banyaknya organisasi yang di ikuti. Perlu di garis bawahi, karena saya notabenenya masih santri, mau tidak mau saya harus mengerjakan ini dengan penuh keihlasan. Program kerja yang ba...

Timur Tengah Baru Milik Sekutu

Trump dengan Topeng Trump Dalam pidatonya di Gedung Putih, Rabu (06/12), Presiden Trump mengatakan “sudah saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel”. Hal ini secara  instan membuat seluruh dunia riuh. Pemberitaan dengan cepat menyebar. Bentuk protes terhadap keputusan trump mencuat. Penolakan serta sikap menyayangkan atas keputusan tersebut di layangkan oleh berbagai kalangan dinegara yang mayoritas islam maupun tidak. Reaksi keras pun bermunculan. Pembakaran bendera, demo, serta petisi menolak keputusan trump ramai. Tak terkecuali Indonesia. Melalui perbincangan dengan banyak orang di Ramallah, BBC News memperoleh tanggapan bahwa keputusan Washington telah merusak peluang Palestina meraih kemerdekaan sebagai negara dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. "Kami mengecam keputusan Amerika yang mengakhiri mimpi kami, warga Palestina. Keputusan itu menyudahi solusi dua negara," ujar Abed Jayussi, warga Ramallah lainnya.Israel telah ...