*Al-Mughniy
“Kriiinngg…” jam becker
dihadapan telingaku berteriak. Aku terbangun dari hangatnya selimut mimpi malam
tadi. Tak lama, suara adzanpun berkumandang usai kumatikan teriakan jam
tadi. Aku bergeming, “Hari apa ni?” lantas
ku raih Experia M2 Aquaku yang berada tak jauh dari jam becker tadi.
Kutengok Memo, ternyata benar, rabu ini aku ada tugas penelitian buat
bahan skripsiku. “gw harus bisa melewati ini semua dengan baik!”gumamku kecil
seraya beranjak menuju kamar kecil.
***
Hari
semakin petang, meski terlihat sang surya masih betah bertengger diufuk barat
sana. Sehabis ngumpul dan nyantai bareng dengan teman-teman kampusku, aku rasa
sudah waktunya aku kembali kerumah sebelum nantinya matahari benar-benar
tenggelam. “SUCCES” kembali kata itu kutulis dimemo smartphoneku ini sambil
berjalan menuju halaman parkir Universitas ini. Setelah tugas tadi yang selesai
lebih awal dari apa yang kuharapkan. Aku tersenyum, bersyukur kepada tuhan
karena telah dimudahkannya urusanku. “Ting Dong..” Notifikasi Experia ku
memberitahukan adanya massage lewat Line. Setelah kubuka, ternyata ini dari
Ibu. “De.. cepet pulang, udah ada yang nungguin kamu nih. Jangan lupa bawa
jajanan, entah Martabak atau apalah terserah kamu. Hati-hati juga naek
motornya.” Aku tersenyum kecil membaca itu, diumur 23 tahunku ini Ibu masih
tetap memanggil anak terakhirnya ini dede. Dan lagi, siapa juga yang sesore ini
sudah menungguku dirumah. Ayah? Ah, tentunya bukan. Ayahkan selalu pulang
larut. Ka Sekar? Sepenting apa hingga mampir kerumah hanya karena menungguku
pulang. Sedangkan kini ia telah ikut suaminya kedaerah Jasinga sana. Bang Opay?
Ah, diakan orang sibuk. Bersama keluarganya, ia hanya bisa main kerumah paling
lambat dua bulan sekali. Aku makin penasaran. Tiba ditempat sepeda motorku,
Langsung ku pergi menuju rumah dengan laju yang lumayan tinggi.
***
“Ckret..”
ku sandarkan motorku digarasi rumah. Sembari menenteng dua buah kresek hitam
yang berisikan martabak, perlahan ku berjalan menuju bibir pintu rumahku.
Kulihat jam tangan, ternyata masih jam setengah enam kurang.
“assalamu’alaikum..” ucapku seraya membuka pintu. “wa ‘alaikum salam
warohmatulloh..” jawab Ibu halus dari arah dapur yang lantas, langsung ku bergegas
ketempat suara adi berasal.
“De..
ituloh lihat dikamar kamu ada siapa?” ucap Ibu setelah kukecup hangat tangannya
sambil ia tersenyum kecil.
“emang
ada siapa si bu..? oh iya ni.. pesenan ibu.” Ucapku sembari menaruh dua kantung
martabak tadi kedekat ibu yang kini masih sibuk memasak.
“udah
kamu lihat aja sana.. nanti ibu siapin martabak ini sama lauk buat makan nanti.”
jawabnya sambil kuiyakan perkataan beliau dengan berjalan menuju kamarku.
Sampai dikamar, ternyata benar aku menemukan siluet seorang remaja muda yang sedang asyik
memainkan Iphone 6Snya.
“Assalamu
‘alaikk...”
“Wa
‘alaikum salam waromatuloh bang adi.. akhirnya pulang juga..” teriaknya spontan
belum sempat kurampungi salamku. Haha, dari semua tanda tanya yang
bergelantungan dibenakku, akhirnya terjawab sudah. Abdul Hamid al-Qodri, dialah
adik sepupuku yang kini baru saja menginjak masa Sweetseventeen. dulu
aku memang sangat dekat dengannya. Dari ia balita aku begitu sering bersama
dengan saudara sepupuku yang satu ini. Karena memang dulu rumah kami yang
bertetanggaan juga memang karena ia bukanlah orang yang sembarangan. Dan kini,
ia sedang dalam proses belajar disalah satu pondok pesantren dijawa timur sana.
Yang kutahu, ia pernah bilang nama pesantrennya itu adalah Langitan.
“Ya
Allah bang.. dari mana aje.. lama bangiit ane tungguin..” tanyanya bersemangat
usai kami saling menumpahkan rasa rindu kami yang selama tiga tahun terakhir
ini tidak pernah bertemu.
“Abang
abis beli martabak dulu buat elu.. gw kan tau lu demen bangat ama tuh makanan.”
“Haha..
masih inget aje ama makanan kesukaan ane..” lalu, kami pun larut dalam
perbincangan ringan didalam kamarku ini hingga adzan maghrib mulai
berkumandang.
***
Hari
semakin larut, diruang keluarga, dihadapan tv plasma Samsung samrttv 48 Inch.
Aku, Hamid, dan Ibu masih tenggelam dalam obrolan obrolan hangat kami bertiga.
Mulai dari topic tentang perkembangan zaman, hingga kami meloncat kesana-kemari
pada masa lalu dengan bernostalgia.
“Bang,
dulu kan.. abang pernah bilang, abang punya sedikit niatan buat mondok. Tapi
qok, sekarang malah kuliah bang?” tanya Hamid kepadaku.
“Yaah..
karena emang udah takdirnya gitu mid. Lagian abang pernah baca dari salah satu
kontak BM abang. Dia bikin status gini “Hidup tuh Tuhan yang ngatur, kita yang
jalanin, orang yang komentar.” Dan mungkin ini udah jadi aturan Allah buat
nakdirin abang kuliah.” Jawabku melebar.
“Emangnya
saat ini abang udah ga ada kepengenan buat mahamin ilmu agama? Diengah-tengah
modernisasi kaya gini sulit tau bang memperoleh sesuatu dari jalan halal. Kalu
kita ga ngerti, bisa-bisa bahaya bang.”
“Kalo
ngaji sih abang juga masih pengen Mid. Mangkanya Hamid disana yang pinter, biar
nanti lulus ajarin abang.” Jawabku singkat tanpa pikir panjang.
“Bener
tuh mid, disini Ustadznya makin sedikit. Belum lagi Kyainya disini tuh sudah
pada sepuh semua. jadi ilmu agama yang kita ambil disini Cuma dari pengajian
mingguan dimasjid situ” lanjut ibu menerangkan keadaan lingkungan keluarga
kami.
“Kalau
gitu saya tanya bang! Didunia kuliahan itumedan dan sepak terjalnya itu apa aja
si bang?”
Tanyanya kembali dengan rasa penasaran
yang begitu tersirat dari raut wajahnya.
“Kalo
disana tuh yaa.. pokoknya ga semua temen itu support dengan kita, tapi malah
banyak temen atau orang-orang yang kontra dengan kita. Disamping itu, salah
satu jalan terjalan dunia kampus itu TUGAS.”
“Tugas?”
“Iya,
jadi ketika Dosen ngasih kita tugas yang sedemikian beratnya, itu rasanya udah Down
duluan. Belom lagi Deadline super express yang dengan teganya pak dosen
membebani kami”
“Hahaha..
lah terus qok abang bisa jalanin semua itu?”
“Nah
itu dia.. meskipun awalnya terlihat sulit. tetapi pas kita kerjakan, itu ga
sesulit dari apa yang kita bayangkan, bahkan lebih mudah. dan juga pengetahuan
atau pemahaman yang tadinya dikelas kita ngerti, itu jadi kita pahamin dengan
sendirinya.” Mendengar jawabnku tadi, Hamid menoleh dari arahku. Seolah ia
berpura-pura menikmati acara tvnya, yang padahal aku tahu dia sedang memikirkan
sesuatu. Tak lama, ia kembali mengahadapku.
“Berarti
ga jauh beda dengan Nadzhom Alfiyah yang saat ini mulai ane tempuh bang.”
Mendengar jawabannya tadi aku sempat tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan.
Lagipula apa itu alfiyah? Tak pikir panjang, sekarang gentian aku yang akan
bertanya kepadanya tentang pondok pesantrennya disana.
“Kalo gitu mid. Dipondokmu itu ada ijazah formalnya ga?”
“Kalo gitu mid. Dipondokmu itu ada ijazah formalnya ga?”
“kalau
Ijazah ada bang. Ketika kita udah lulus Aliyah. Nanti ada ijazah Aliyahnya, ya
walaupun ga sama seperti Ijazah Aliyah lainnya. Tapi insyaAllah ijazah ini udah
bisa langsung buat melamar kerja atau semacamnya.”
“Ooh
bagus dah. Soalnya dizaman mendatang kalo kita gak cepet-cepet punya pengahasilan
tetap, nantinya akan ada dampak tersendiri bagi diri kita.”
“Iya,
tapi bang kalo say amah udah males mikirin kerjaan lah. Toh yang ngasih rezeki
bukan bos atau manager. Lagipula banyak para Ulama, Kyai, dan Wali-wali Allah
yang memang mereka semua itu tidak punya penghasilan tetap. Namun mereka
buktinya tetap bisa menyambung hidup.”
“Ya
tapi setidaknya kitakan berikhtiar mid.”
“Ya
memang berikhtiar itu diperbolehkan. Tapi.. yang dikhawatirkan itu, ketika
nanti kita sudah sukses. Nah kita itu bisa-bisa cenderung lebih cinta pada
dunia. Yang padahal dunia ini barang yang sirna.” Mendengar jawaban itu,
rasanya aku masih ingin membantahnya kalau pekerjan juga tak takalh penting
dari mengaji.
“Lihat
ini bang!” ucapnya lagi sambil mengangkat IPhone 6Snya kearahku.
“Kenapa
itu?”
“Ini
ane ga pernah minta buat dibeliin. Tapi tiba-tiba Abi ngasih ini keane katanya
Abi ga bisa gunainnya, dan ini dari salah satu Jama’ah Abi yang dermawan
memberinya Smartphone ini keAbi.”
“Lah terus intinya apa?” tanyaku yang memang
gagal paham akan contoh yang diberikannya.
“Jadi
ya bang. Yang namanya kita menanam padi, pasti akan ada rumput yang ikut
tumbuh. Tapi tidak dengan sebaliknya. Kalau kita menanam rumput, maka jangan
harap padi akan ikut tumbuh.”
“Dari situ kita umpamain padi itu akhirat
dan dunia itu rumput. Kira-kira kepaham gak bang?” aku hanya diam. Menatapnya
lekat-lekat sambil kulembar seutas senyum terhadapnya. Pun juga Ibu. Kami
terbungkam akan apa yang tadi diibaratkan Hamid. Pikirku, ternyata benar,
kemewahan yang kita rasakan didunia saat ini. Itu tidak ada setengahnya dari
seperempat, atau bahkan seperempatnya dari seperempat dibanding kenikmatan
akhirat sudah dijanjikan Allah bagi orang-orang yang patuh terhadapnya.
Isma’il Al-Mughniy
Ahad, 2016-01-24
Library Office.
Comments
Post a Comment