Skip to main content

Setengah dari 1/4


*Al-Mughniy
               
“Kriiinngg…” jam becker dihadapan telingaku berteriak. Aku terbangun dari hangatnya selimut mimpi malam tadi. Tak lama, suara adzanpun berkumandang usai kumatikan teriakan jam tadi.  Aku bergeming, “Hari apa ni?” lantas ku raih Experia M2 Aquaku yang berada tak jauh dari jam becker tadi. Kutengok Memo, ternyata benar, rabu ini aku ada tugas penelitian buat bahan skripsiku. “gw harus bisa melewati ini semua dengan baik!”gumamku kecil seraya beranjak menuju kamar kecil.

***
                Hari semakin petang, meski terlihat sang surya masih betah bertengger diufuk barat sana. Sehabis ngumpul dan nyantai bareng dengan teman-teman kampusku, aku rasa sudah waktunya aku kembali kerumah sebelum nantinya matahari benar-benar tenggelam. “SUCCES” kembali kata itu kutulis dimemo smartphoneku ini sambil berjalan menuju halaman parkir Universitas ini. Setelah tugas tadi yang selesai lebih awal dari apa yang kuharapkan. Aku tersenyum, bersyukur kepada tuhan karena telah dimudahkannya urusanku. “Ting Dong..” Notifikasi Experia ku memberitahukan adanya massage lewat Line. Setelah kubuka, ternyata ini dari Ibu. “De.. cepet pulang, udah ada yang nungguin kamu nih. Jangan lupa bawa jajanan, entah Martabak atau apalah terserah kamu. Hati-hati juga naek motornya.” Aku tersenyum kecil membaca itu, diumur 23 tahunku ini Ibu masih tetap memanggil anak terakhirnya ini dede. Dan lagi, siapa juga yang sesore ini sudah menungguku dirumah. Ayah? Ah, tentunya bukan. Ayahkan selalu pulang larut. Ka Sekar? Sepenting apa hingga mampir kerumah hanya karena menungguku pulang. Sedangkan kini ia telah ikut suaminya kedaerah Jasinga sana. Bang Opay? Ah, diakan orang sibuk. Bersama keluarganya, ia hanya bisa main kerumah paling lambat dua bulan sekali. Aku makin penasaran. Tiba ditempat sepeda motorku, Langsung ku pergi menuju rumah dengan laju yang lumayan tinggi.

***
                “Ckret..” ku sandarkan motorku digarasi rumah. Sembari menenteng dua buah kresek hitam yang berisikan martabak, perlahan ku berjalan menuju bibir pintu rumahku. Kulihat jam tangan, ternyata masih jam setengah enam kurang. “assalamu’alaikum..” ucapku seraya membuka pintu. “wa ‘alaikum salam warohmatulloh..” jawab Ibu halus dari arah dapur yang lantas, langsung ku bergegas ketempat suara adi berasal.
                “De.. ituloh lihat dikamar kamu ada siapa?” ucap Ibu setelah kukecup hangat tangannya sambil ia tersenyum kecil.
                “emang ada siapa si bu..? oh iya ni.. pesenan ibu.” Ucapku sembari menaruh dua kantung martabak tadi kedekat ibu yang kini masih sibuk memasak.
                “udah kamu lihat aja sana.. nanti ibu siapin martabak ini sama lauk buat makan nanti.” jawabnya sambil kuiyakan perkataan beliau dengan berjalan menuju kamarku. Sampai dikamar, ternyata benar aku menemukan siluet  seorang remaja muda yang sedang asyik memainkan Iphone 6Snya.
                “Assalamu ‘alaikk...”
                “Wa ‘alaikum salam waromatuloh bang adi.. akhirnya pulang juga..” teriaknya spontan belum sempat kurampungi salamku. Haha, dari semua tanda tanya yang bergelantungan dibenakku, akhirnya terjawab sudah. Abdul Hamid al-Qodri, dialah adik sepupuku yang kini baru saja menginjak masa Sweetseventeen. dulu aku memang sangat dekat dengannya. Dari ia balita aku begitu sering bersama dengan saudara sepupuku yang satu ini. Karena memang dulu rumah kami yang bertetanggaan juga memang karena ia bukanlah orang yang sembarangan. Dan kini, ia sedang dalam proses belajar disalah satu pondok pesantren dijawa timur sana. Yang kutahu, ia pernah bilang nama pesantrennya itu adalah Langitan.
                “Ya Allah bang.. dari mana aje.. lama bangiit ane tungguin..” tanyanya bersemangat usai kami saling menumpahkan rasa rindu kami yang selama tiga tahun terakhir ini tidak pernah bertemu.
                “Abang abis beli martabak dulu buat elu.. gw kan tau lu demen bangat ama tuh makanan.”
                “Haha.. masih inget aje ama makanan kesukaan ane..” lalu, kami pun larut dalam perbincangan ringan didalam kamarku ini hingga adzan maghrib mulai berkumandang.

***
                Hari semakin larut, diruang keluarga, dihadapan tv plasma Samsung samrttv 48 Inch. Aku, Hamid, dan Ibu masih tenggelam dalam obrolan obrolan hangat kami bertiga. Mulai dari topic tentang perkembangan zaman, hingga kami meloncat kesana-kemari pada masa lalu dengan bernostalgia.
                “Bang, dulu kan.. abang pernah bilang, abang punya sedikit niatan buat mondok. Tapi qok, sekarang malah kuliah bang?” tanya Hamid kepadaku.
                “Yaah.. karena emang udah takdirnya gitu mid. Lagian abang pernah baca dari salah satu kontak BM abang. Dia bikin status gini “Hidup tuh Tuhan yang ngatur, kita yang jalanin, orang yang komentar.” Dan mungkin ini udah jadi aturan Allah buat nakdirin abang kuliah.” Jawabku melebar.
                “Emangnya saat ini abang udah ga ada kepengenan buat mahamin ilmu agama? Diengah-tengah modernisasi kaya gini sulit tau bang memperoleh sesuatu dari jalan halal. Kalu kita ga ngerti, bisa-bisa bahaya bang.”
                “Kalo ngaji sih abang juga masih pengen Mid. Mangkanya Hamid disana yang pinter, biar nanti lulus ajarin abang.” Jawabku singkat tanpa pikir panjang.
                “Bener tuh mid, disini Ustadznya makin sedikit. Belum lagi Kyainya disini tuh sudah pada sepuh semua. jadi ilmu agama yang kita ambil disini Cuma dari pengajian mingguan dimasjid situ” lanjut ibu menerangkan keadaan lingkungan keluarga kami.
                “Kalau gitu saya tanya bang! Didunia kuliahan itumedan dan sepak terjalnya itu apa aja si bang?”
Tanyanya kembali dengan rasa penasaran yang begitu tersirat dari raut wajahnya.
                “Kalo disana tuh yaa.. pokoknya ga semua temen itu support dengan kita, tapi malah banyak temen atau orang-orang yang kontra dengan kita. Disamping itu, salah satu jalan terjalan dunia kampus itu TUGAS.”
                “Tugas?”
                “Iya, jadi ketika Dosen ngasih kita tugas yang sedemikian beratnya, itu rasanya udah Down duluan. Belom lagi Deadline super express yang dengan teganya pak dosen membebani kami”
                “Hahaha.. lah terus qok abang bisa jalanin semua itu?”
                “Nah itu dia.. meskipun awalnya terlihat sulit. tetapi pas kita kerjakan, itu ga sesulit dari apa yang kita bayangkan, bahkan lebih mudah. dan juga pengetahuan atau pemahaman yang tadinya dikelas kita ngerti, itu jadi kita pahamin dengan sendirinya.” Mendengar jawabnku tadi, Hamid menoleh dari arahku. Seolah ia berpura-pura menikmati acara tvnya, yang padahal aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Tak lama, ia kembali mengahadapku.
                “Berarti ga jauh beda dengan Nadzhom Alfiyah yang saat ini mulai ane tempuh bang.” Mendengar jawabannya tadi aku sempat tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan. Lagipula apa itu alfiyah? Tak pikir panjang, sekarang gentian aku yang akan bertanya kepadanya tentang pondok pesantrennya disana.
                “Kalo gitu mid. Dipondokmu itu ada ijazah formalnya ga?”
                “kalau Ijazah ada bang. Ketika kita udah lulus Aliyah. Nanti ada ijazah Aliyahnya, ya walaupun ga sama seperti Ijazah Aliyah lainnya. Tapi insyaAllah ijazah ini udah bisa langsung buat melamar kerja atau semacamnya.”
                “Ooh bagus dah. Soalnya dizaman mendatang kalo kita gak cepet-cepet punya pengahasilan tetap, nantinya akan ada dampak tersendiri bagi diri kita.”
                “Iya, tapi bang kalo say amah udah males mikirin kerjaan lah. Toh yang ngasih rezeki bukan bos atau manager. Lagipula banyak para Ulama, Kyai, dan Wali-wali Allah yang memang mereka semua itu tidak punya penghasilan tetap. Namun mereka buktinya tetap bisa menyambung hidup.”
                “Ya tapi setidaknya kitakan berikhtiar mid.”
                “Ya memang berikhtiar itu diperbolehkan. Tapi.. yang dikhawatirkan itu, ketika nanti kita sudah sukses. Nah kita itu bisa-bisa cenderung lebih cinta pada dunia. Yang padahal dunia ini barang yang sirna.” Mendengar jawaban itu, rasanya aku masih ingin membantahnya kalau pekerjan juga tak takalh penting dari mengaji.
                “Lihat ini bang!” ucapnya lagi sambil mengangkat IPhone 6Snya kearahku.
                “Kenapa itu?”
                “Ini ane ga pernah minta buat dibeliin. Tapi tiba-tiba Abi ngasih ini keane katanya Abi ga bisa gunainnya, dan ini dari salah satu Jama’ah Abi yang dermawan memberinya Smartphone ini keAbi.”
                “Lah terus intinya apa?” tanyaku yang memang gagal paham akan contoh yang diberikannya.
                “Jadi ya bang. Yang namanya kita menanam padi, pasti akan ada rumput yang ikut tumbuh. Tapi tidak dengan sebaliknya. Kalau kita menanam rumput, maka jangan harap padi akan ikut tumbuh.”
                “Dari situ kita umpamain padi itu akhirat dan dunia itu rumput. Kira-kira kepaham gak bang?” aku hanya diam. Menatapnya lekat-lekat sambil kulembar seutas senyum terhadapnya. Pun juga Ibu. Kami terbungkam akan apa yang tadi diibaratkan Hamid. Pikirku, ternyata benar, kemewahan yang kita rasakan didunia saat ini. Itu tidak ada setengahnya dari seperempat, atau bahkan seperempatnya dari seperempat dibanding kenikmatan akhirat sudah dijanjikan Allah bagi orang-orang yang patuh terhadapnya.

Isma’il Al-Mughniy
Ahad, 2016-01-24

Library Office.

Comments

Popular posts from this blog

Profil Pesantren Nurul Furqon (Pesantren Tilawah Pertama Di Bogor)

Suasana Mengaji Pondok Pesantren Nurul Furqon. PONDOK Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional tertua di Indonesia. Pengajaran di pesantren menggunakan sistem sorogan dan bandungan yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya. Dalam perkembangan selanjutnya, selaras dengan kemajuan zaman, metode dan sistem pengajaran di pesantren diperkaya dengan sistem kelas dengan tidak meninggalkan inti pengajaran pesantren. Dengan sistem ini, yang memberikan pengajaran tidak lagi harus seorang kiai, juga ada guru/ustadz/ustadzah sesuai dengan materi pelajaran. Pembelajaran bersifat massal, menggunakan kurikulum yang jelas, lama belajar ditentukan sesuai dengan jenjang-jenjang pendidikan dan kelasnya. Mata pelajaran bukan cuma bidang-bidang ilmu agama, tapi juga ilmu umum. Sekalipun demikian, sistem sorogan dan bandungan serta figur seorang kiai/ustadz yang menjadi panutan dan kharismatik, tak bisa dipisahkan dari ciri khas pesantren sebagai lembaga transformasi nila...

Spesifikasi ASUS ZenBook UX410UQ (Give Away)

Langitan di Pagi Hari Saya M. Zahid Farhan seorang santri di salah satu pesantren di Tuban Jawatimur. Lebih tepatnya Pondok Pesantren langitan. Saya adalah salah satu dari sekian ribu santri yang sampai sekarang masih aktif belajar di Langitan. Dan juga salah satu santri yang memasuki dunia film maker, menulis, designer dan fotografer. Yang intinya saya berkutat dalam dunia multi media. Lebih jelasnya dalam segi film maker saya fokus di dua tempat, yakni Langitan TV dan LangitanDokumentasi . Sedangkan menulis berfokus di majalah serta blog pribadi. Dan yang terakhir fotografer focus pada pendokumentasian setiap acara di pondok pesantren. Langitan TV Sebagai santri multi media, saya di tuntut oleh jam “kerja” yang lumayan tinggi. Tuntutan deadline sana sini dan lain sebagainya. Dikarenkan banyaknya organisasi yang di ikuti. Perlu di garis bawahi, karena saya notabenenya masih santri, mau tidak mau saya harus mengerjakan ini dengan penuh keihlasan. Program kerja yang ba...

Timur Tengah Baru Milik Sekutu

Trump dengan Topeng Trump Dalam pidatonya di Gedung Putih, Rabu (06/12), Presiden Trump mengatakan “sudah saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel”. Hal ini secara  instan membuat seluruh dunia riuh. Pemberitaan dengan cepat menyebar. Bentuk protes terhadap keputusan trump mencuat. Penolakan serta sikap menyayangkan atas keputusan tersebut di layangkan oleh berbagai kalangan dinegara yang mayoritas islam maupun tidak. Reaksi keras pun bermunculan. Pembakaran bendera, demo, serta petisi menolak keputusan trump ramai. Tak terkecuali Indonesia. Melalui perbincangan dengan banyak orang di Ramallah, BBC News memperoleh tanggapan bahwa keputusan Washington telah merusak peluang Palestina meraih kemerdekaan sebagai negara dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. "Kami mengecam keputusan Amerika yang mengakhiri mimpi kami, warga Palestina. Keputusan itu menyudahi solusi dua negara," ujar Abed Jayussi, warga Ramallah lainnya.Israel telah ...