Oleh : Muhammad Zahid Farhan
“Malam itu
di sebuah desa yang mana semilir angin merasuk kerumah-rumah. Semua orang karena
terbawa suasana, menjadi terlena, tidur didalam balutan hangatnya selimut dan
lampu teplok rumah masing-masing. Akan tetapi tidak dengan keluarga bapak Azhar,
keluarganya sedang dalam keadaan yang sangat mencekam. Istrinya, sedang
berjuang melahirkan seorang anak yang telah lama dinanti. Di bantu oleh seorang
dukun beranak yang sudah berpengalaman dalam masalah ibu melahirkan”.
“Pak Azhar hanya
bisa membantu dengan menggenggam tangan istrinya. Ia cemas, terlihat sekali
dari guratan wajah ibanya karena tak kuasa melihat keadaan istrinya yang
menahan sakit karena melahirkan yang katanya sakitnya tak terperi. Selain itu
istrinya sekarang sedang dalam keadaan antara hidup dan mati. Dalam hati ia
hanya bisa berdoa. Semoga keluarganya masih bisa utuh dan menjadi tambah utuh
dengan lahirnya anak yang selalu dinanti dengan selamat. Namun, apa dinyana”. Tiba-tiba
ayah terisak haru. Karena tangisnya, ia tidak bisa melanjutkan cerita yang
biasa ia ceritakan kepadaku sebelum tidur. Aku sudah hampir terlelap, namun
karena mendengar isak tangis ayah aku kembali terbangun dan mencoba
menenangkannya.
@@@
Aku semenjak
kecil adalah anak yang Piatu. Kata ayah, ibu meninggal ketika aku di lahirkan.
Jadi sejak masih di momong aku selalu di urus oleh ayah seorang diri. Dengan
sabar ia merawatku. Walau sekarang ia hanya seorang single parent, semua
hal itu ia lakukan dengan sepenuh hati. Ayah tidak ingin menikah lagi. Dari semenjak ibu meninggal hingga sekarang. kalau ditanya masalah itu, pasti ayah hanya menjawab
“Biar bisa terus bareng sama ibu nanti kalau di sorga”.
Walau harus
sendiri, ia bisa menjadi madrasah
pertama dalam untuk hidupku. Budi pekerti adalah pendidikan yang paling ia
tekankan. Mulai dari doa sehari-hari, adab dalam berbicara, hingga memberikan
sesuatu kepada orang lain dengan tangan kanan. Selain itu setiap malam ia
selalu menyempatkan diri untuk menceritakan kisah-kisah yang penuh makna, yang terkadang di barengi petuah-petuah bijaksana. Seringkali
aku tertidur lebih dahulu, padahal ceritanya belum selesai.
Disaat aku
tertidur pulas ayah biasanya ikut tidur. Namun hanya sebentar, ia kembali
bangun lalu berwudhu. Kemudian ia melakukan ibadah di mihrab hingga menjelang
subuh. Dan biasanya aku memergoki ayah ketika aku bangun karena ingin pergi ke
kamar kecil. Kadang aku melihatnya sedang rukuk dan terkadang sedang sujud
dengan khusuknya. Selain itu tak jarang juga aku melihatnya sedang asyik
membaca al-Qur’an dengan suara yang menurutku merdu. Biasanya kalau sedang baca
al-Qur’an ayah tahu kalau aku bangun, lalu ia memanggilku dan menyuruhku untuk
tidur di pangkuannya.
“Ayah kok
nggak tidur sih, kan Ayah capek abis kerja seharian,” tanyaku dengan penuh
penasaran.
“Nggak kok,
tadi Ayah udah tidur De, tapi karena ada pekerjaan yang harus di selesaikan Ayah
bangun lagi deh,” sambil mengusap-usap rambutku perlahan.
“Kerja, tapi
aku nggak ngeliat Ayah kerja, yang aku lihat Ayah sembahyang,” tanyaku lagi.
“Hmm, bagi Ayah
sembahyang itu kerja De, kerja untuk Tuhan yang udah ngasih kita nikmat banyak
dan tak terhingga. Jadi Ayah pagi kerja buat kamu. Malam buat Allah.” Sembari menaruh
al-Qur’an ke meja. Kemudian ia menyuruhku untuk kembali tidur di kamar, tapi
karena aku tidak mau akhirnya aku tidur di mihrab, di samping Ayah yang sibuk
dengan “pekerjaan”-nya.
@@@
Pagi menjelang,
sebagaimana biasa rutinitas sehari-hari aku pergi ke sekolah diantar oleh ayah.
Ia bonceng aku dengan sepeda ontel usangnya sampai ke depan gerbang sekolah.
Setelah sampai di depan gerbang sekolah aku mencium tangannya kemudian ia
memberikan aku uang saku sebesar 500 rupiah. Setelah itu, ayah pamit untuk
pergi bekerja.
Di sekolah
sebagaimana umumnya anak sekolah dasar. Aku bermain, belajar serta berasimilasi
dengan teman-temanku. Sesuai dengan apa yang di ajarkan ayah aku berusaha
bergaul dengan sebaik mungkin. Berbicara seadanya, berperilaku serta berucap
tidak sampai menyakiti orang lain. Sehingga aku di sekolah dikenal baik. Baik
itu oleh teman-teman sejawat maupun guru-guru di sekolah.
“Berdiri!” Sontak semuanya berdiri.
“Semuanya
jangan lupa ya mengerjakan PR yang Ibu berikan. Oh iya Zakaria kamu ikut Ibu ke
kantor. Assalamualaikum Wr. Wb.” Ibu khodijah berpamitan. Namaku di panggil.
Ah, pasti ada sesuatu.
”Walaikum
salam Wr. Wb.” Serempak seluruh anak di kelas menjawab salam bu guru.
Aku keluar
kelas paling belakang, sembari memasukkan barang-barangku ke dalam tas. Aku
berjalan agak gontai dan perlahan.
Kulihat Bu Khodijah menunggu aku yang keluar ruang kelas paling
belakang. Dengan lembut beliau merangkul pundakku dan berjalan mengikuti tempo
langkahku yang agak lambat.
“Ada apa
bu?” Tanyaku penasaran
“Ibu jawabnya
di kantor saja ya, biar lebih enak ngomongnya,” jawabnya dengan senyum simpul.
Ketika
sampai, Ibu Khodijah membuka pintu dan masuk ke kantor terlebih dahulu. Setelah
itu baru aku menyusul masuk, akan tapi disaat aku hampir memasuki kantor. Aku
terkejut, ternyata ayah sudah berada di dalam terbih dahulu bersama dengan
kepala sekolah.
@@@
“Ayah, kalau
seandainya jadi, berarti bisa-bisa aku nggak ketemu ayah dalam waktu yang lama
dong”.
Apa yang ditentukan
kepala sekolah serasa belum aku terima. Ayah memegang tanganku dan mengajak
berjalan kaki pulang. Sepertinya ia
tidak membawa sepeda.
“Terus
lanjutan ceritanya gimana yah?” Sambungku. Ayah menggenggam tanganku lebih erat.
Sebelumnya biasa saja. Tapi, karena omonganku terasa genggamannya semakin kuat.
Kurasa dalam hatinya terbesit rasa khawatir berpisah denganku.
“Hmm, Zak.
Mungkin sudah saatnya kamu berjuang untuk menjadi seperti ibumu.” Ayah
berhenti, kemudian dia jongkok menghadapku.
“Berjuang
menjadi apa yah?” Aku hanya bisa penasaran. Sebelumnya ayah tidak pernah
bercerita hal ini. Bahkan dalam “dongeng” sebelum tidur pun tidak pernah di
sebut.
“Menjadi orang
yang sholeh dan sukses dunia akherat,” dengan senyum simpul ayah pungkasi
ucapannya. Lalu ia kembali menggandengku dan kembali berjalan.
“Dan mungkin
ini jalan terbaik untuk kamu, karena hanya inilah jalan yang pas untuk menjadi
seperti apa yang di harapkan ibumu. Mumpung ada beasiswa, kalau nggak sekarang
kapan lagi,” sambung ayah dengan suaranya yang terdengar sangat berwibawa.
“Ayah
sendirian dong dirumah,”
“Nggak
apa-apa. Yang penting kamu harus sukses dulu. Jangan sampai kamu jadi seperti Ayah.
Ayah ingin kamu jadi sumber yang mendorong ibu dan ayahmu ini masuk surga.
Masalah ceritanya kamu lanjutkan ya jalan ceritanya dengan kisah perjalanan
hidup yang akan kamu lalui. Angap beasiswa ini sebagai pintu kamu untuk sukses,”
Kulihat ayah
mengusap air mata dengan lengan bajunya. Aku pun menangis. Tak kuasa aku mendengar
harapannya yang sederhana tapi sangat bermakna.
Kemudian
ayah kembali berhenti dan jongkok kembali di hadapanku. Di ciumnya kening serta
pipiku. Setelah itu ia memelukku dengan erat. Terasa pelukan hangat darinya
benar-benar membuat hariku bergetar. Punggungku terguncang-guncang. Ayah
melepas pelukannya lalu mengusap kedua mataku.
“Persiapkan dirimu,
harus sukses dan buat Ayah bangga”. Kini tangisku reda. Kami kembali berjalan.
Dari kejauhan rumah kami sudah terlihat. Ayah tersenyum kepadaku. Aku hanya
bisa membalas dengan anggukan kepala dan berharap semoga perjalananku ke
pesantren bisa berjalan dengan lancar. Betah dan istiqomah sehingga di kemudian
hari wasiat ibu dan harapan ayah bisa menjadi bunga Seroja yang mekar dan indah
pada waktunya.
Dibawah
langit di atas bumi
Untuk
ayah yang telah tiada dan ibu yang selalu ada untukku
22
Desember 2015
IG : Leoafza Twitter :leoafza04
Comments
Post a Comment