“Bagiku dia adalah permata yang tak ternilai
harganya oleh apapun. Kehilangan dia adalah sebuah bencana besar dalam hidupku.
Ia adalah pelipur lara dari kerinduanku akan sosok Nirmala. Wajahnya yang
menitiskan sedikit pancaran bidadariku membuat hati tenang dan bahagia bukan
main, kepolosannya mengingatkanku pada setiap
kejujuran kata yang selalu di ucapkan Nirmala, perhiasan dunia yang di
persembahkan Allah kepadaku. Dan benar, kini dia pergi. Mencari sesuatu yang
belum ia dapatkan di bawah dekapan pendidikanku.”
“Sementara memang, akan tetapi itu terlalu lama
bagiku. Nafsuku berkata, biar dia terus berada dalam pelukku, akan tetapi
hatiku berkata, ‘kau dan Nirmala membutuhkan doanya, dedikasimu saja tak cukup.
Habis sudah nafsuku terbantai oleh rasa cinta hati oleh Nirmala dan putranya, Zakaria.”
“Aku kini harus sendiri, menjalani hari dengan jam
yang sedikit berbeda. Tidak ada lagi mengantar dan menjemput Zakaria, tak ada
lagi mengajaknya berjamaah di surau setiap kali adzan berkumandang dan
berdendang di telinga kami berdua. Semua berubah. Tak ada lagi yang mengamini
doaku dengan suara indah. Tak ada lagi yang menemani sujud baktiku dalam sholat
malam di mihrab kecilku. Anakku , jarak memisahkan kita tapi aku harap hati
kita tetap tertaut oleh rindu karena tak bersua”
Setiap baris kata yang di tuliskan ayah membuat
hatiku berdesir, pundak terguncang dan mata yang panas menahasan ledakan tangis
rindu tuk bersua.
@@@
“Tak terasa waktu berjalan dengan begitu cepat. Empat
tahun sudah ia belajar di tempat nun
jauh di sana. Aku ingin menjenguknya, tapi hatiku berkata ‘kau sudah berjanji
tuk menahan rindu dengan hanya bertemu di kampung, ketika dia sudah menjadi
manusia yang sempurna akal dan imannya’. Rinduku tertahan dan kembali tertancap
kedalam. Sakit, sungguh sakit hanya kepada Allah aku bercerita rasa ini.”
“Waktu tidak seperti bejalan bagiku, ia berlari. Di
usiaku yang tak terlalu tua umur seperti terpangkas dua kali lipat. Andai sakit
parah tak mendera tubuhku, hal ini takkan terjadi. Untung saja Allah masih
memberikan aku waktu barangkali sejenak untuk bersiap menemuimu terlebih dahulu
atau mungkin menemuinya terlebih dahulu. Masih muda tapi aku merasa begitu tua.
Anakku, aku harap waktu lebih cepat berlalu, agar aku bisa memelukmu di usia
senjaku”.
Tangisku pecah, mataku merah, tak kuat sungguh aku
tak kuasa menahan segala isi kisah ayah tatkala aku berada dalam kewajiban
menuntut ilmu tak ada tempat untuk dia berbagi duka selain Allah SWT. Hatiku terenyuh sungguh terenyuh. Ayah
maafkan aku.
@@@
“Tahun kelima sudah datang dengan membawa suasana
yang tenang dirumah ini. Selain bekerja untuk diriku dan tuhanku. Hanya buku
ini tempat aku menuliskan semua kata rindu. Berjuta kata serta puisi takkan
sanggup menahan segala rasa rindu yang tak terperi. Kini tanganku selalu
gemetar tatkala menuliskan baris-baris kisahku. Mataku sudah lebam oleh rindu,
tubuhku makin kurus termakan penyakit yang tak kunjung sembuh. Setiap hari
sakit tu terasa memangkas jatah hidupku di dunia ini, malaikat maut seakan-akan
terus menerus menggoreskan sabitnya di tubuhku sedikit demi sedikit.”
“Ku harap anakku pulang aku masih bisa berada di
sampingnya walaupun hanya sekejap mata. Akan tetapi andaikan memang Allah tidak
mengizinkan aku untuk bertemu engkau lagi anakku. Kuharap Allah mempertemukan
kita di surga dalam keadaan sehat, bahagia dan lengkap bersama kehadiran ibumu,
Nirmala. Itu hanya harapku nak, entah nanti apa yang terjadi jangan menangis.
Sungguh aku akan selalu ada di hatimu. ”
Aku tutup buku diary ayah, aku peluk erat dengan
tair mata yang membasahi segala apa yang ada di bawahnya. Mulutku meracau tak
jelas, hatiku berdesir merinding, jantungku berdetak kencang. Ucapan mulutku
yang terdengar jeals hanya ayah… ayah…. Ayah….. kedewasaanku seakan-akan luntur
diakhir barisan-barisan kisah ayah. Aku terus tenggelam, tenggelam dan
tenggelam dalam segala rasa sakit hati yang tak terperi.
@@@
“Akhirnya setelah rentetan tangis yang berjejer menusuk relung hati Zaka
ia bisa kembali menjadi apa yang di harapkan ayahnya. Hidup bahagia dalam
balutan ilmu yang begitu indah. Mencapai keberhasilan yang sesuai dengan
keinginan ayah dan ibundanya. Hanya satu yang belum ia kejar, mati membawa iman
dan berkumpul kembali dengan keluarga yang utuh di surga kelak. Tamat ”
Aku kecup kedua kening
permata hatiku. Benar kata ayah. Anak adalah permata yang tidak ternilai
harganya. Wangi mereka yang sama seperti bau malaikat ketika belum mencapai
akil baligh menentramkan hati bagi kedua orang tua. Setiap kali melihat raut
wajah mereka yang sudah pulas dalam tidurnya aku hanya bisa tersenyum bahagia.
Mengenang masa lalu yang indah bagiku. Di ceritakan sebuah kisah tapi tertidur
pulas sebelum cerita selesai. Akan tetapi aku harap mereka tidak sering melilir
bangun malam, agar tidak mengganggu kegiatanku bersama bidadariku.
“Mas Adi dan Ara sudah
tidur kan ?” perlahan dan menyenangkan hati tatkala mendengarnya suara lirih
seorang wanita yang berdiri didepan pintu.
“Sudah sayang, ada apa
?” dengan senyuman aku mejawab pertanyaannya
“Kekamar yuk sayang,
tidur. Udah malem, kan kamu lelah habis ngisi pengajian.”
Jawabnya manja dan penuh dengan
nada sayang, aku hanya bisa mengangguk pelan dan bangun meninggalkan kedua
anakku yang tercinta.
Kebahagiaanku
benar-benar sudah lengkap sudah, memiliki dua orang anak laki-laki dan
perempuan serta memiliki istri solihah yang mempersembahkan dirinya untuk
mengabdi kepada suami dan tuhannya. Bersama merawat bahtera rumah tangga dan
mendidik calon penerus bangsa. di sebuah pesantren kecil wakaf para warga
dengan title yang bersarang di depan namaku. KH.Zakaria bin Azhar, begitu
bersahaja dan semoga bisa terus terwarisi keturunanku kelak di kemudian hari.
Selesai..
Persembahan untuk ayah yang telah tiada. dan ibu yang selalu berjuang untukku.
Yang belum tau cerita sebelumnya bisa klik disini untuk episode pertama dan klik disini untuk episode kedua. See you next time.
Comments
Post a Comment